Translate language

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
blog-indonesia.com

Sabtu, 02 Januari 2010

Diam

"Maka hendaklah berkata yang baik atau diamlah"
Nabi Muhammad saw.


Seorang pujangga Arab pernah berkata, "Lidah itu lebih tajam dari ujung tombak yang terhunus". Atau barangkali, sebagian kita ada yang berpikir lebih dari apa yang diumpamakan pujangga Arab itu. Bahwa sebilah ujung tombak belumlah memadai untuk melukiskan perihnya lidah. Bisa jadi, kejahatan lewat lidah itu memiliki daya penghancur layaknya sebuah dinamit yang mampu menghancurkan satu bangunan megah.


Begitulah, betapa tutur kata yang keluar dari sepotong daging yang bernama 'lidah' bisa lebih menyakitkan ketimbang benda-benda tajam lainnya. Ia bukan sekedar sebaris kalimat yang meluncur dari mulut kita, lalu hilang bersama angin. Tapi juga sederet makna dan pesan yang bisa ditangkap oleh setiap orang dengan segala tafsirnya. Dan kemudian, ia menyelinap ke dalam sanubari sang pendengar. Ada yang terluka dengan kata-kata yang kita sampaikan, ada juga yang merasa dibahagiakan.

Persoalannya, kita tidak tahu apakah kata-kata yang kita ucapkan itu menyakitkan atau meneduhkan? Kata-kata itu keluar begitu saja, entah dalam perbincangan sehari-hari, diskusi atau pun dalam sekedar senda gurau belaka. Bagi kita yang bertutur, mungkin tidak jadi masalah,namun belum tentu bagi orang yang mendengar.

Bagi mereka, sejumlah kata yang melukai akan memiliki pengaruh yang luar biasa. Mulai dari orang yang menerimanya dengan tangis, dendam kesumat, sumpah serapah, kutukan, merasa terhina, baku hantam, putus asa, dan bahkan sampai pembunuhan sekalipun. Karna itu, pernahkah kita merenungkan dampak-dampak tersebut? Pernahkah kita membayangkan sakitnya berada diposisi mereka?

Dari sini nampak, bahwa kejahatan lidah lebih berbisa dari sekedar bisa (racun) ular. Ia bahkan menjadi tempat segala keburukan bermuara. Tak aneh, bila Al-Harits Al-Muhasibi, dalam buku Adab an-Nufus "Tulus Tanpa Batas" (versi terjemahannya) berkomentar, "Janganlah lengah soal lidah, sebab ia bagaikan seekor hewan buas berbahaya yang mangsa pertamanya adalah pemiliknya sendiri. Tutuplah pintu bicaramu sekuat-kuatnya. Jangan membukanya kecuali jika harus membukanya. Jika engkau membukanya, maka hati-hatilah. Penuhi kebutuhan untuk bicara seperlu nya saja, lalu tutup lagi pintu lisan itu."

Oleh karna itulah, Rasulullah saw.menyodorkan 'diam' sebagai solusinya. Sabdanya, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau (kalau tidak) diamlah." (HR. Bukhori)

Dari sinilah, diam menjadi teramat penting maknanya. Dengan diam, kita belajar menyaring kata, menakar ucapan, dan menyampaikan kata sesuai porsi dan keperluan. Dan, sekiranya kita harus mengeluarkan kata-kata, sebaiknya sederet kalimat yang kita lahirkan telah tersaring menjadi sebuah ungkapan yang benar-benar berfaedah. Begitu pula dalam hal bersenda gurau.

Dengan cara ini, kita tidak hanya menjadi penutur yang baik, tapi juga menjadi pendengar yang bijak. Jika tidak, maka bersiap-siaplah memasuki pintu neraka sebagaimana Rasulullah katakan kepada Mu'ad bin Jabal, "Tidak mungkin manusia akan terus di dalam neraka kecuali karena hasil panen lidah mereka." (HR. Tirmidzi).
Wallahu'alam bisshawab.


Tidak ada komentar: